Jumat, 01 April 2016

TRAGEDI

 Tragedi Longsor Banjar Negara



Gemuruh terdengar dari bukit tempatnya berdiri, Jumat sore (12/12). Khatimah (25), warga Dusun Jemblung, Desa Sampang, Banjarnegara, yang sedang mengambil pakaian dari jemuran bersama keponakannya, mendongak kaget. Mereka lantas lari pontang-panting, berlari menjauh dari bukit.

“Saya melihat longsor dari atas bukit, turun seperti ombak. Saya langsung lari masuk rumah dan menarik keponakan saya, lalu lari keluar rumah,” kata perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu seperti dilansir detik.com.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), per Senin malam (15/12), jumlah warga tewas akibat longsor Banjarnegara tercatat 56 orang. Dua di antaranya adalah suami dan anak Khatimah, Juan (25) dan Dafa (8) yang saat kejadian sedang berada di rumah mertua. 

Longsor di Banjarnegara terjadi setelah dua hari sebelumnya wilayah itu diguyur hujan deras sehingga longsor kecil terjadi di beberapa tempat. Sempat pula beredar isu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mrica jebol karena debit Sungai Serayu yang besar. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan saat bencana terjadi, gerimis masih menyiram wilayah Banjarnegara. Tepat pukul 17.00 WIB, bagian dari Bukit Telagalele longsor dan menimbulkan bunyi gemuruh.

Material longsor meluncur ke bawah, berbelok ke sisi utara karena gravitasi bumi, dan terus turun mengikuti kemiringan lereng. “Material longsor kemudian menimbun 8 rumah dan meluncur melewati ruas jalan Banjarnegara-Pekalongan hingga menimbun puluhan rumah lainnya,” kata Sutopo.

Kejadian itu hanya berlangsung dalam lima menit, namun membuat 108 jiwa tertimbun dalam longsor.

Rawan longsor 

Dusun Jemblung di Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, merupakan daerah rawan longsor berpotensi sedang dan tinggi. Di Kabupate Banjarnegara, terdapat sedikitnya 20 kecamatan yang memiliki potensi longsor seperti Sampang. 

Awal Januari 2006, longsor juga menimpa Dusun Gunungraja di Desa Sijeruk Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, yang menyebabkan 76 orang tewas, 44 juta jiwa hilang, 16 luka-luka, serta 587 jiwa mengungsi.  

Sutopo mengatakan penyebab longsor di Banjarnegara antara lain akibat material penyusun Bukit Telagalele yang merupakan endapan vulkanik tua, lapuk. Hujan deras dua hari sebelumnya juga turut berkontribusi membuat tanah jenuh terhadap air. 

Tak hanya itu, tanaman di atas bukit yang longsor merupakan tanaman semusim (palawija) dan tahunan yang tidak rapat. Budidaya pertanian tidak mengindahkan konservasi tanah dan air. Tak terdapat sistem terasering pada lereng tersebut. 

Akhir November kemarin, BNPB sudah memperkirakan bencana longsor dan banjir akan menimpa. Ada 274 kabupaten/kota di Indonesia yang menjadi titik rawan longsor. Titik tersebut tersebar di Jawa bagian tengah dan selatan, Bukit Barisan di sepanjang Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung, serta Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi dan Papua. 

"Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah rawan longsor yang perlu mendapatkan perhatian serius karena banyak penduduknya," kata Sutopo.

Data BNPB menunjukkan, sepanjang tahun 2014, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur merupakan provinsi yang paling banyak tertimpa bencana. Khusus untuk bencana longsor, korban meninggal terbanyak terdapat di Kabupaten Cianjur, Ciamis, dan Bogor yang terletak di Provinsi Jawa Barat.

“Total kerugian pada 2014 akibat bencana longsor mencapai Rp 2 triliun,” kata Sutopo.

Sejauh ini tren bencana longsor di Indonesia terus meningkat. Ini seiring bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di lereng-lereng perbukitan rawan longsor, juga karena degradasi lingkungan. 

Sayang imbauan dan peringatan BNPB soal daerah rawan longsor itu hanya mewujud buih kata-kata yang tak dihiraukan. Longsor pun tak terelakkan di Banjarnegara, dan puluhan nyawa melayang dalam lima menit.

Tak siap bencana

Meski potensi bencana longsor di Indonesia tinggi, pemerintah dinilai kurang serius menyikapi ancaman tersebut. Padahal BNPB sudah memberi peringatan soal daerah rawn longsor sejak awal November kepada para gubernur dan bupati terkait.

“Kalau peringatan BNPB diperhatikan secara serius, tidak perlu puluhan nyawa melayang," kata Arif Wendardi dari Greenpeace Indonesia, Selasa (16/12). 

Bencana longsor, ujar Arief, memang diakibatkan oleh faktor lingkungan seperti tingginya curah hujan dan daya dukung tanah yang rendah. Walau demikian, perubahan daya dukung lingkungan lebih disebabkan adanya kerusakan di daerah hulu seperti terjadinya alih fungsi lahan hutan. 

“Di daerah Banjarnegara, kami dengar banyak terjadi pembalakan liar yang menyebabkan tren longsor dari tahun ke tahun semakin tinggi,” kata Arief.

Arief meminta pemerintah tak sekadar menyalahkan warga dalam musibah longsor. “Bencana tersebut bukan salah mereka, tetapi lebih kepada perubahan daya dukung lingkungan, yakni kerusakan alih fungsi lahan yang dibiarkan pemerintah,” ujar Arief.

Oleh sebab itu Arief meminta pemerintah meningkatkan kesiapsiagaan terkait bencana longsor di Indonesia. “Dalam waktu singkat pemerintah bisa melakukan mitigasi bencana. Penduduk di lokasi rawan bencana longsor mesti dievakuasi,” ujarnya.

Untuk jangka panjang, Arief berharap pemerintah bisa menindak tegas perubahan alih fungsi lahan yang disebabkan pembalakan liar atau penebangan pohon secara ilegal di kawasan rawan longsor.

Dengan tingkat antisipasi tinggi, semoga hilangnya banyak nyawa dalam bencana alam yang telah terprediksi semacam ini bisa dihindari di masa mendatang.


Sumber: CNN Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar